Krisis
Kelangkaan bahan bakar minyak yang diikuti kenaikan harga BBM dan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat bayang-bayang krisis ekonomi jilid kedua menghantui kehidupan ekonomi rakyat. Dua pekan lalu nilai rupiah kembali terseok-seok dan sempat menembus angka Rp 11.750 per satu dollar AS, seperti yang terakhir terjadi April 2001 ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada pada kisaran Rp 11.600. Jika terpuruknya rupiah ini berkelanjutan, tak pelak lagi, harga barang-barang kebutuhan akan melonjak. Padahal, laju kenaikan penghasilan sangat tidak sepadan. Kekhawatiran akan kembalinya krisis ekonomi diam- diam mulai kembali menyelimuti masyarakat.
Dari hasil jajak pendapat Kompas 30-31 Agustus lalu yang dilakukan untuk menyoroti penyikapan masyarakat terhadap merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Dua pertiga (66,4 persen) responden yang dihubungi lewat telepon ini mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa bangsa ini akan kembali ke krisis ekonomi seperti saat awal reformasi tahun 1998.
Di mata masyarakat, krisis ekonomi itu identik dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan dan melemahnya daya beli. Kelangkaan dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) saat ini seakan menjadi pukulan pertama yang akan diikuti hantaman-hantaman berikutnya terhadap sendi-sendi perekonomian rakyat sehari-hari.
Merosotnya nilai tukar rupiah sebagai hantaman kedua, meskipun baru pada fase awal, ternyata sudah cukup membuat masyarakat merasakan dampaknya. Bagaimanapun, turunnya nilai kurs ini sudah memengaruhi pola belanja kebutuhan sehari-hari bagi sebagian masyarakat. Kecuali naiknya harga barang impor yang sering dihargai dengan mata uang asing, seperti produk-produk komputer dan barang-barang elektronik lainnya, kenyataan di lapangan memang belum menunjukkan kenaikan harga barang-barang kebutuhan yang lebih umum secara signifikan.
Persoalan Mendasar dan Solusi
Ada beberapa persoalan mendasar yang kalau tidak ada upaya yang dilakukan, baik oleh pihak pemerintah maupun BI untuk mengatasinya, akan terus mengganggu kestabilan rupiah yang pada akhirnya akan mengacaukan stabilitas ekonomi. Pertama, Indonesia menganut rezim devisa bebas. Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar menyebutkan, setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.
UU ini sangat singkat pasal-pasalnya sehingga dapat ditafsirkan secara luas, seperti penduduk dapat dengan bebas membawa devisa ke luar negeri dan menempatkan devisanya di mana saja di luar negeri. Tujuan diterapkan sistem ini adalah agar investasi asing tertarik masuk ke Indonesia karena dapat mudah masuk dan juga tidak dihambat apabila ingin keluar lagi suatu saat nanti.
Namun, kenyataannya investasi asing di sektor riil untuk pembangunan sektor industri barang dan jasa tidak masuk seperti diharapkan. Yang bergerak keluar masuk dengan sangat cepat adalah uang panas untuk spekulasi mengejar keuntungan di investasi portofolio. Gerakan spekulan asing inilah yang membuat harga saham dan nilai tukar rupiah bisa jungkir balik selama ini.
UU ini membuka peluang kepada para manipulator, koruptor, dan pengusaha bermental maling dengan sangat bebas untuk melarikan hasil jarahannya keluar dari Indonesia ke Singapura atau negara lain. Sangat wajar kalau Singapura enggan diajak kerja sama dalam masalah ekstradisi karena ini adalah salah satu sumber pendanaan mereka.
Adanya UU ini dijadikan alasan oleh pemerintah bahwa tidak dapat mengharuskan eksportir untuk merepatriasi devisa hasil ekspornya. Eksportir dibiarkan memarkir sebagian besar devisanya di luar negeri. UU ini sudah mutlak harus diganti karena rezim devisa bebas tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan untuk mencapai stabilitas moneter guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Perubahannya bukan berarti harus berubah ekstrem menjadi rezim devisa terkontrol yang terlalu ketat, tetapi diatur yang sangat mendesak, seperti antara lain penggunaan devisa oleh penduduk. Sementara untuk investasi asing langsung (FDI) diberi keleluasaan agar mereka tetap tertarik masuk ke Indonesia.
Pemerintah dan BI harus memberikan alasan yang jelas dan masuk akal jika repatriasi devisa hasil ekspor sulit untuk dilaksanakan karena alasan kendala administrasi. Mengapa sebagian besar negara-negara di dunia bisa mengharuskan repatriasi devisa hasil ekspornya, sedangkan kita tidak bisa?
Indonesia sangat membutuhkan devisa untuk mengatasi minimnya pasokan dollar AS di tengah besarnya permintaan. Kalau hanya mengandalkan cadangan devisa BI, dapat dipastikan cepat atau lambat akan terkuras habis dan pada akhirnya akan membawa bencana lebih besar pada perekonomian Indonesia.
Kedua, sistem nilai tukar yang digunakan saat ini adalah sistem mengambang bebas. Nilai tukar bergerak sesuai kekuatan pasar. Sistem ini sangat rentan dari gangguan spekulan. Sejak Indonesia menggunakan sistem ini tahun 1997, rupiah tidak pernah bisa stabil, terus jungkir balik sampai dengan saat ini. Melihat fakta itu, perlu dicari solusi alternatif sistem lain yang dapat membuat rupiah tidak terus-menerus bergejolak.
Di antara berbagai sistem yang ada, tampaknya yang paling memungkinkan adalah Sistem Mengambang Terkendali, tetapi juga harus disertai dengan dukungan pengaturan yang ketat dalam perdagangan valas untuk menghilangkan unsur spekulasi. Bila perlu, apabila gerakannya sudah sangat luar biasa, pasarnya disuspensi sementara waktu. Bagi bank yang melakukan transaksi di luar batas yang ditentukan BI, dikenai sanksi yang berat. Dengan sistem ini, gerakan rupiah bisa dikendalikan untuk mencapai target BI dan pemerintah.
Ketiga, perdagangan valuta asing di Indonesia adalah yang paling bebas di dunia. Siapa pun boleh melakukan jual beli dollar AS terhadap rupiah, berapa pun besarnya dan untuk kepentingan apa saja. Akibatnya, kita tidak dapat membedakan apakah pembelian dollar saat ini untuk tujuan yang ada kaitannya dengan dunia usaha atau untuk spekulasi. Seharusnya, untuk meredam tekanan permintaan spekulasi, setiap pembelian dollar AS harus ada underlying transaction-nya. Misalnya, kalau ada perusahaan yang ingin membeli dollar AS untuk membayar barang impor, mereka harus memperlihatkan dokumen pendukung, seperti surat kredit (L/C)-nya. Kalau pembelian dengan alasan untuk bayar utang valuta asing, harus didukung oleh perjanjian utang. Sementara pembelian yang tak ada underlying- nya harus dibatasi, misalnya maksimal 25.000 dollar AS saja. Kalau ada pihak yang melakukan manipulasi dokumen, harus diberikan sanksi berat dan dimasukkan ke daftar hitam. Pihak bank juga harus bertanggung jawab akan keabsahan dokumen yang diajukan nasabah. Jika ada dokumen palsu yang berhasil lolos, bank itu juga harus diberikan sanksi.
Sementara sisi penjualan dollarnya tetap dibiarkan bebas karena memang saat ini Indonesia kekeringan suplai dollar AS. Selain itu, transaksi margin trading untuk dollar AS terhadap rupiah harus dilarang sama sekali karena transaksi ini murni spekulasi. Transaksi ini sangat berbahaya karena hanya dengan menyetor margin sebesar 10 persen, mereka bisa berspekulasi dalam jumlah yang sangat besar.
Pasar valas di Indonesia saat ini didominasi bank-bank asing, baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun nasabahnya. BI harus melakukan kontrol ketat karena bank asing jauh lebih menguasai seluk-beluk pasar uang dan pasar valas serta mempunyai kemampuan untuk merekayasa transaksi valas dan mendikte pasar ketimbang bank lokal.
Pemerintah dan BI juga harus membatasi jumlah staf asing yang saat ini mulai menguasai posisi penting di perbankan kita karena sulit mengharapkan mereka memikirkan kepentingan nasional.
Keempat, pasar derivatif di Indonesia saat ini tidak berkembang sehingga apabila nasabah memerlukan instrumen derivatif, seperti forward, foreign exchange swap, maupun option, untuk melakukan hedging (lindung nilai) atas kewajiban valuta asing mereka, terbatas sekali bank yang mau memberikan fasilitas untuk transaksi ini kepada nasabahnya.
Jadi, jika terlihat adanya indikasi rupiah akan mengalami tekanan, terjadilah kepanikan dan mereka ramai-ramai beli dollar AS di pasar spot yang menambah tekanan lebih berat lagi pada rupiah. BI harus mencarikan upaya agar pasar derivatif dapat berkembang atau untuk sementara waktu menyediakan fasilitas re-swap bagi perbankan ke BI.
Kelima, telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap mata uangnya akibat adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan BI. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh BI dengan tujuan mengendalikan tekanan terhadap rupiah, tetapi tak berdampak pada stabilitas rupiah.
Kredibilitas tim ekonomi di kabinet juga sudah mengalami kemerosotan yang luar biasa. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan bahwa mereka akan dapat membawa perekonomian ke arah yang lebih baik. Indonesia keadaannya semakin amburadul. Wajar kalau sebagian besar pelaku pasar dan dunia usaha kecewa berat terhadap paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah beberapa hari lalu karena terkesan pemerintah tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Harapan pelaku pasar begitu tinggi bahwa pemerintah akan melakukan langkah konkret yang segera dapat diharapkan meredam gejolak rupiah, ternyata yang keluar hanya rencana jangka panjang yang normatif dan tidak berdampak langsung pada masalah yang ada. Harapan kini tinggal pada BI untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, walaupun seharusnya pemerintah menyadari bahwa dukungan sektor fiskal sangat menentukan bagi keberhasilan sektor moneter.
Keenam, untuk mengatasi pelemahan rupiah, pemerintah perlu menempuh cara tepat dengan mengambil solusi ekonomi seperti mengurangi defisit, mengurangi subsidi demi sehatnya fiskal nasional tanpa harus menimbulkan dampak tidak baik terhadap rakyat bawah yang justru harus diberi proteksi.
# Farial Anwar, Alumnus FE Unair
# Kompas, 3 September 2005