Friday, November 04, 2005

Hemat BBM : Langkah Solutif Krisis BBM di Indonesia*

Fakta Seputar BBM

Selama delapan belas bulan terakhir harga minyak dunia telah naik dengan 36 USD per barrel, yaitu dari 24 menjadi 60 USD per barrel. Dengan kata lain, rata-rata selama sebulan, harga minyak dunia naik 2 USD per barrel. Harga minyak dunia tidak sekedar dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran global, tetapi sering kali kenaikannya dipicu oleh keadaan yang eksplosif. Bom di London yang terjadi pekan lalu, serta merta menaikkan harga minyak dunia dari 60 menjadi 62 USD per barrel. Dahulu jika harga melonjak, segera OPEC dapat meredam harga dengan meningkatkan kuota produksi. Tetapi sekarang yang lebih menentukan harga BBM dipasaran dunia bukan lagi OPEC, tetapi kartel-kartel yang terdiri dari para pedagang besar minyak dunia. Permintaan minyak dunia semakin meningkat, terutama dari Cina, India dan Korea, sementara pasokan dapat dikatakan tetap, sehingga harga pasti naik. Rencana Amerika Serikat untuk menguras minyak dari Irak ternyata tidak berhasil dan keadaan di Irak serta beberapa tempat di Timur Tengah tetap eksplosif. Keadaan ini tentu semakin memicu kenaikan harga minyak dunia. AS sendiri sangat konservatif dalam kebijakan stok nasionalnya sehingga diperkirakan dapat bertahan untuk kebutuhan dalam negeri AS hingga jangka waktu enam bulan. Bandingkan ini dengan Indonesia yang rata-rata hanya dua minggu bahkan pada minggu yang lalu, pasokan BBM dalam negeri hanya cukup untuk satu minggu saja.

Fakta lain adalah meningkatnya secara terus menerus konsumsi BBM dalam negeri selama lima tahun terakhir. Rata-rata sekitar 5-6 persen per tahun. Dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun kedepan, bukan tidak mungkin konsumsi BBM dalam negeri meningkat hingga 10% per tahun. Indonesia saat ini telah berubah dibandingkan dengan keadaan 10-20 tahun yang lalu. Pada periode yang silam, jika terjadi kenaikan harga minyak dunia akan menguntungkan negara. Sekarang tidak demikian halnya, justru setiap kenaikan harga BBM dunia akan memperbesar subsidi yang dikeluarkan Pemerintah. Yang lebih menyedihkan, demikian besar subsidi yang dikeluarkan Pemerintah, tetapi tetap tidak mencapai sasaran. Sebagai contoh, mengenai harga minyak tanah. Subsidi tahun ini yang diperkirakan sekitar 70 triliun rupiah, jika Pemerintah tidak menaikkan harga BBM, akan segera melonjak menjadi 100 triliun rupiah. Artinya, setiap hari negara mengeluarkan 300 miliar rupiah untuk subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati kalangan industri serta golongan menengah ke atas.

Sementara itu Pertamina yang masih memegang monopoli distribusi juga mengalami kesulitan likuiditas karena terlambatnya pencairan subsidi oleh Pemerintah. Akibatnya, Pertamina harus meminjam uang dari bank untuk modal kerjanya dan selanjutnya Pertamina harus membayar bunga bank yang tentu menaikkan harga BBM. Kebijakan harga ganda tidak efektif dan justru menimbulkan distorsi. Hal ini perlu diingatkan karena Pemerintah tampaknya akan menaikkan harga BBM untuk industri. Memang kebijakan ini tampaknya rasional dan populis. Tetapi sebenarnya, semakin besar perbedaan harga minyak tanah dan solar untuk rumah tangga dan industri, akan semakin mendorong penyelundupan minyak dari rumah tangga dan akan lari ke industri. Harga BBM di Indonesia adalah yang terendah kecuali dibandingkan dengan negara di Timur Tengah. Bahkan harga di Indonesia lebih rendah dari Timor Leste dan Laos yang jauh lebih miskin dari kita.

Hemat BBM

Hemat energi atau BBM adalah salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis BBM yang terjadi di Indonesia. Penghematan ini harus kita mulai sejak dini dan mulai dari hal-hal yang mungkin terlihat kecil seperti hemat listrik (mematikan computer, AC, dan barang-barang elektronik lain bila tidak dipakai), mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan pribadi, dan lain sebagainya. Untuk pemerintah sendiri, salah satu solusi untuk krisis BBM ini ialah dengan membuat batasan-batasan yang berkaitan dengan pemakaian BBM, terutama untuk sektor transportasi, karena pada sector ini penghematan akan sangat besar. Sayangnya, kebijakan penghematan di sektor ini belum terlihat. Rencana kenaikan PPn BM untuk mobil super mewah, tak akan banyak berarti, karena mobil seperti itu tidak banyak dipakai oleh pemilik, lagi pula jumlahnya sangat sedikit. Hal lain yang dapat dilakukan juga ialah pengharusan pemakaian Pertamax untuk mobil kelas 2.500 cc ke atas, hal ini takkan memberatkan, karena pemilik mobil ber cc besar tersebut pada umumnya dari kalangan atas. Kebijakan semacam itu sangat dibutuhkan untuk menekan penghematan BBM.

Penghematan BBM atau energi ini telah menekan pemakaian listrik sampai 900 megawatt (MW) pada saat beban puncak pukul 17.00-22.00, khususnya di pusat pengaturan beban listrik Jawa-Bali di Gandul, Jakarta. Secara lebih detil, dari PLN sendiri diperoleh data bahwa penggunaan listrik Jawa-Bali peroide 11-19 Juli 2005 mampu mengurangi beban setara dengan 85 juta kilowatthaour (kWh). Dari jumlah itu berarti PLN telah menghemat BBM sebesar 3-3,5 juta liter atau senilai Rp 23,7 miliar. Jumlah rupiah yang dihemat tersebut cukup signifikan. Secara matematis jika gerakan penghematan dilakukan akan menghemat Rp 78,9 miliar per bulan atau hampir Rp 1 triliun per tahun. Angka itu akan makin besar manakala penghematan sudah merata dan sudah lebih dihayati dan dilaksanakan masyarakat. Pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan pemakaian BBM ini memang sangat diharapkan. Bukan cuma masalah energi yang mahal, tetapi juga masalah ketidakefisienan kita dalam memanfaatkan energi. Perhitungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan bahwa penggunaan energi kita sangat boros. Dibandingkan dengan Jepang, kita lebih boros empat kali lipat, dibandingkan dengan Amerika Utara lebih boros tiga kali lipat. Jika dilihat dari jumlah pemakaian, mungkin mereka lebih besar. Amerika Serikat, misalnya, tiap hari menghabiskan 2,7 juta barel (Indonesia 1,1 juta barel), tetapi dari efisiensi kita boros. Perhitungan efisiensi energi itu berdasarkan pada perbandingan antara jumlah konsumsi terhadap produk domestik bruto (ini dinamakan intensitas) dan pertumbuhan konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi (elastisitas).

*) disampaikan pada Pertamina Youth Program 2005

No comments: