Sunday, January 04, 2004

Pemilu, Kampanye dan Arus Pragmatisme Masyarakat

Pemilu 2004 tetap akan menjadi sorotan tajam karena pemilu ini akan menjadi batu ujian pertama bagi pelaksanaan kelembagaan dan sistem politik yang baru, berdasarkan UUD yang mengalami perubahan yang mendasar. Di bawah UUD yang baru, secara de facto dapat dikatakan Indonesia hampir menganut sistem dua kamar dalam sistem perwakilan rakyat yaitu dengan adanya DPD di samping DPR. DPD secara evolusioner dapat berkembang menjadi Senat. Hal ini berlaku sebagaimana halnya negara-negara yang menganut sistem dua kamar dalam sistem perwakilannya yang umumnya telah diadopsi oleh negara-negara yang dianggap telah mapan dalam sistem politiknya atau biasa dikenal dengan sebutan negara-negara maju. Selain adanya DPD, untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden akan dipilih langsung oleh rakyat, dan dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan memperoleh legitimasi konstitusional dan politik yang kuat sekali.

Hal demikian pada satu pihak akan lebih memberikan stabilitas politik, tetapi di pihak lain, kita memerlukan DPR yang lebih tangguh agar sistem pengawasan dan pengimbangan atau check and balance sebagai pilar demokrasi dapat berlangsung.

Kampanye merupakan bagian dari pesta demokrasi yang harus dilalui oleh masing-masing partai politik peserta pemilu, yang bertujuan untuk memperkenalkan parpol beserta calegnya kepada masyarakat, dengan harapan masyarakat memilih parpol dan caleg tersebut. Kampanye ini merupakan sarana paling efektif disamping penggodokan kader maupun iklan-iklan di media massa. Namun kerap kali para juru kampanye (jurkam) kebablasan dalam mengutarakan visi dan misi parpolnya, sehingga cenderung obral janji.

Janji parpol yang disampaikan saat kampanye, seperti perbaikan kondisi ekonomi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perubahan struktur politik ke arah demokrasi, dan reformasi hukum yang lebih menjamin keadilan, ternyata tidak terpenuhi. Sebaliknya, korupsi di mana-mana, praktik kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin membabi buta, utang kian menumpuk, dan penggusuran terhadap rakyat marjinal menjadi-jadi. Parpol lupa pada nasib pemilihnya

Rakyat merasa reformasi diselewengkan mereka yang berkuasa. Itulah pelajaran berharga yang bisa diambil hikmahnya. Kenyataan reformasi tampaknya mendorong perubahan sikap rakyat. Di Yogyakarta misalnya, kini mulai lahir gejala ketidakpercayaan warga pada parpol dalam pemilu. Masyarakat banyak yang apatis tampak nyata di desa. Seandainya mereka dimintai tanggapan atas Pemilu 2004, mungkin tidak segairah tahun 1999. Sikap lain bisa berwujud golput, "memilih untuk tidak memilih".

Alasannya, di mata mereka pemilu hanya panggung obral janji, bahkan drama tipu-menipu. Pada sisi lain, muncul pula respons baru, yakni siasat "terima uangnya tanpa harus memilih parpol pemberi uang". Cara seperti ini bertujuan untuk meladeni praktik money politics dalam pemilu, menyiasati ulah parpol.

Pemilu memerlukan peran serta masyarakat, atau dengan kalimat yang lebih ekstrim, rakyat "diperlukan" hanya untuk diambil suaranya. Maka berlomba-lomba-lah para peserta Pemilu baik dari Parpol maupun dari per orangan untuk meraih simpati rakyat.

Cara-cara tersebut (bujukan dan janji-janji selama masa kampanye) merupakan cara tradisional. Ada juga yang lebih agresif yaitu dengan memberikan kompensasi instant kepada setiap masyarakat pemilih berupa uang, atau pekerjaan. Semuanya bertujuan untuk menarik masyarakat ikut terlibat di dalam Pemilu dengan memberikan suaranya kepada mereka.

Dalam menyikapi kondisi ini masyarakat terpecah, setidaknya menjadi tiga golongan. Kelompok pertama adalah kelompok yang mengambil sikap memihak pada suatu kekuatan Parpol. Biasanya orang-orang seperti ini adalah orang yang berhasil ditarik Parpol untuk berpartisipasi, tetapi bisa juga merupakan orang yang mengambil posisi di luar kekuatan politik, hanya sebagai simpatisan.

Kelompok kedua adalah kelompok yang sudah 'mati rasa' dan benar-benar skeptis dengan Pemilu. Baginya, apapun yang terjadi berkaitan dengan Pemilu tidak perlu ditanggapi. Inilah kelompok yang disebut Golput.

Dan yang ketiga adalah kelompok massa mengambang, yang tidak berpijak pada suatu kubu politik dan kelompok inilah yang paling besar jumlahnya. Mereka inilah yang kini ditarik-tarik oleh kekuatan politik untuk menjadi konstituen-nya.

Disaat yang sama pada lokasi kampanye terutama lokasi kampanye parpol baru, tampak sepi. Kalaupun ada yang datang dengan atribut parpol, kehadiran mereka tidak lebih dari sekadar menonton artis dan menikmati hiburan musik dangdut.

Menipisnya antusiasme masyarakat dalam momen kampanye menjelaskan masyarakat saat ini tengah berada dalam masa transisi, yang kemudian menciptakan sebuah demokrasi semu (pseudo democracy).Pada satu sisi masyarakat tidak lagi percaya pada parpol, sementara di sisi lain keberadaan parpol masih diperlakukan sebagai satu-satunya institusi publik legal yang boleh ikut pemilu. Dengan begitu ada dua fenomena yang menjelaskan kondisi sekarang ini.

Pada pemilu 1999 orang masih memiliki idealisme yang membuat mereka sukarela mengikatkan diri pada parpol tertentu. Namun nuansa ideologis tersebut mulai pudar pada pemilu 2004, hal ini disebabkan karena masyarakat lebih pragmatis, mereka merasa lebih santai berpolitik, berbeda pendapat sudah biasa, melihat pemerintahan yang jatuh pun telah biasa.

Analisa dan Fakta

Jika kita analisa pemilu 2004 ini,maka Analisa ini dimulai dengan sebuah paradigma ideal bahwa partai yang unggul (excellence) adalah organisasi yang unggul. Konsep keunggulan ditarik dari asumsi yang diperkenalkan oleh Muriel James dan Dorothy Jongeward dalam bukunya, Born to Win (1971), yang mengatakan bahwa setiap individu terlahir dengan potensi untuk menang. Konsep "menang" tidak selalu berarti "harus ada yang kalah", melainkan bahwa yang bersangkutan mampu melakukan transformasi dari ketidakberdayaan menjadi mandiri. Konsep ini digabungkan dengan tesa dari Rosabeth Moss Kanter dalam When Giants Learn to Dance (1989) yang mengatakan bahwa organisasi yang unggul dibentuk oleh individu yang unggul, yang masing-masing independen dan mampu membentuk tim dengan pola interdependen.

Dari sini ditarik asumsi dasar bahwa partai politik yang unggul adalah organisasi yang unggul, yaitu organisasi yang terdiri atas individu yang mandiri dan mampu mengembangkan kerja sama yang saling mengisi dan saling mendukung (interdependen).

Secara teoretis, maka pemenang Pemilu 2004 adalah partai politik yang masuk kategori organisasi yang paling unggul dibanding pesaingnya. Dalam hal ini, Partai Golkar adalah partai yang paling unggul secara analisa excellence institution (30 tahun berkuasa) yang dibentuk oleh excellent peoples (jumlah kader-kader unggul dengan jaringannya). Namun kenyataan di lapangan bergantung pada konteks keindonesiaan kita, yaitu konteks budaya politik elite dan konteks budaya politik massa dari bangsa Indonesia.

Budaya politik elite Indonesia hari ini mengacu nilai budaya untuk mencapai puncak kekuasaan guna tujuan kekuasaan itu sendiri. Budaya politik elite seperti ini mengacu kepada prinsip bahwa kekuasaan adalah tujuan itu sendiri, dan bukan sarana mencapai kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat. Proses politik selama lima tahun kepemimpinan Indonesia terakhir menampakkan gejala tersebut, baik di eksekutif maupun di legislatif. Sayangnya budaya politik elite ini sesuai dengan budaya politik massa yang malas dan senang menggantungkan diri.

Masyarakat kita berisi individu-individu yang tidak cukup punya karakter born to win. Masyarakat kita adalah masyarakat yang senang menggantungkan diri kepada orang lain, benda lain, atau bahkan negara lain.

Budaya politik ini sering diberi label sebagai "paternalistik", sebuah identifikasi yang menggambarkan betapa masyarakat lebih suka menggantungkan diri pada pimpinan daripada kerja keras seluruh warga.

Bahkan, dalam pemulihan ekonomi, elite kita pun terpengaruh oleh budaya tergantung itu dengan tetap menggantungkan sebagian besar program pemulihan ekonomi-khususnya yang bersifat strategis -kepada negara lain dan/atau institusi global daripada bekerja keras secara bersama-sama.

Budaya “paternalistik” tersebut terlihat masih lebih kuat walaupun partai yang berkuasa saat ini (PDI-P) belum dapat memperbaiki kondisi bangsa kearah yang lebih baik (kalau pun mempengaruhi perolehan suara, namun tidak terlalu signifikan).

Apabila kita hendak menjadikan rakyat dan demokrasi sebagai "pemenang" Pemilu, maka tugas para elite politik untuk menggeser fatwa kelembagaannya ke arah organisasi yang unggul (excellence institution) yang dibangun oleh para pendukung yang unggul pula (yang berprinsip born to win).

Wallahu’alam.