Wednesday, March 26, 2008

Dilema Tarif Listrik

Seperti yang kita ketahui beberapa saat yang lalu masyarakat sempat ribut mengenai rencana implementasi tarif insentif dan disinsentif listrik kepada rakyat yang terlihat tidak adil. Namun saat ini pemerintah membatalkan rencana tersebut dan menggantinya dengan mengenakan tarif nonsubsidi untuk pelanggan listrik yang pemakaiannya melebihi rata-rata nasional. (http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.25.01390229&channel=2&mn=155&idx=155).

Adapun tarif multiguna atau tarif nonsubsidi tersebut rencananya akan diujicobakan mulai April 2008 kepada pelanggan rumah tangga golongan 3 (R3) di lima provinsi. Kelima provinsi itu adalah Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Adapun alasannya, R3 adalah golongan masyarakat mampu yang masih menikmati tarif listrik subsidi. Tarif listrik R3 Rp 900 per kWh, sementara biaya pokok penyediaan oleh PLN mencapai Rp 1.300 per kWh.

Terkait dengan tarif listrik tersebut, saya ingin sedikit mengulas mengenai landasan hukum yang berlaku. Indonesia sebagai negara hukum, pasti memiliki landasan hukum atas sesuatu yang dikenakan kepada rakyat banyak. Terkait dengan tarif listrik tersebut, maka setidaknya ada beberapa landasan hukum yang harus diperhatikan yakni mulai dari UUD pasal 33 ayat 2 yang berbunyi "Cabang produksi yg penting bagi negara dan yg menguasai hajat hidup org banyak harus dikuasai oleh negara". Diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No 001-021-022/PUU-I/2003 yang berbunyi "Listrik adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, karenanya listrik harus dikuasai oleh negara". Keputusan MK tersebut yang membatalkan unbundling ditubuh PLN.

Selain itu terdapat pula UU No15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, pada pasal 16 disebutkan dengan jelas "Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik", dijelaskan bahwa dalam mengatur dan menetapkan harga jual tenaga listrik pemerintah senantiasa memperhatikan rakyat serta kemampuan dari masyarakat. Selain itu terdapat juga Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, pada pasal 32 disebutkan bahwa :
1. harga jual tenaga listrik ditetapkan oleh presiden berdasarkan usul menteri
2. dalam mengusulkan harga jual tenaga listrik, menteri harus memperhatikan hal2 sebagai berikut : kepentingan rakyat dan kemampuan dari masyarakat; kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat; biaya produksi; efisiensi pengusahaan; kelangkaan sumber energi primer yang digunakan; skala pengusahaan dan sistem interkoneksi yang digunakan; tersedianya sumber dana untuk investasi.

Dari aturan-aturan hukum tersebut jelas bahwa tarif listrik atau TDL haruslah ditetapkan oleh presiden atas usul menteri, hal ini dapat berupa Keputusan Presiden (keppres). Atas dasar itulah keluar Keppres No 104 tahun 2003 (masih berlaku) tentang Harga Jual Tenaga Listrik tahun 2004 yang Disediakan oleh Persero PT PLN. Dalam Keppres tersebut cukup jelas penetapan dasar tarif listrik untuk golongan S (golongan sangat kecil), R (rumah tangga), B (bisnis), I (industri), P (pemerintah). Masing-masing golongan tersebut dibagi-bagi lagi seperti R1, R2, R3 berdasarkan batas dayanya.

Dalam Keppres tersebut juga sangat jelas pemakaian Tarif Multiguna sebesar Rp 1380/kWh yakni tarif yang digunakan selain untuk golongan S, R, B, I, P, Traksi dan Curah. Sehingga secara aturan perundangan, rencana pemerintah untuk menggunakan tarif multiguna (non subsidi) untuk pelanggan golongan R3 yang berjumlah 81.737 (data bulan September 2007) tidaklah tepat tanpa mengubah aturan yang ada, dalam hal ini Keppres. Hal tersebut bisa menjadi dilema bagi pemerintah mengingat kebutuhan untuk menaikkan tarif dasar listrik disebabkan biaya produksi yang melebihi dari tarif listrik ke pelanggan itu sendiri menjadi beban APBN dari tahun ke tahun, dan hal tersebut bisa jadi keputusan yang tidak populis.

4 comments:

Anonymous said...

wah..nampaknya bang dwi akan bergerak ke arah kebijakan nih ?
khususnya kebijakan energi
umm..arah itu pun jadi pertimbangan arah saya ke depannya, bahkan TA saya pun berkisar tentang regulasi walau regulasi liberalisasi pembangkitan listrik.
saran saya bang, perlu dikaji juga macam macam sistem ketenagalistrikan yang dipakai di dunia supaya terpetakan bahaya dan keuntungannya

Big Bang Penerbit said...

Ztttt…, istirahat sejenak. Rasakan dahsyatnya PENCERAHAN dari buku MUSLIMONOT di blog kami. Ayo mampir dulu!

alrisjualan said...

Mudah-mudahan di pimpin Dahlan Iskan PLN bisa berhemat terutama bahan bakar solar bisa dikonversi ke energi lain.

Obat Penambah Nafsu Makan said...

Subhanalloh .!!!