Thursday, March 30, 2006

Pendidikan oh...Pendidikan



Mei adalah nama seorang anak perempuan yang berasal dari suatu desa di Jawa tengah. Ia merupakan anak sulung dari 4 (empat) bersaudara, sejak lulus SLTP ia disekolahkan oleh saudaranya di Bandung, di sebuah SLTA swasta. Hal itu dilakukan karena orang tua Mei sudah tidak mampu membiayai sekolah sampai ke SLTA, apalagi perguruan tinggi.

Selama sekolah di Bandung ia juga turut membantu pekerjaan rumah ditempat ia tinggal, seperti memasak, menyapu, membersihkan lantai, dsb. Hari demi hari dilaluinya dengan tabah, tanpa melupakan kondisi orang tua dan adik-adiknya dikampung halaman. Selepas SLTA ia ingin menjadi guru dengan melanjutkan studi nya di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung. Hal tersebut mungkin dilakukan oleh Mei, karena kondisi saudaranya yang tergolong mampu. Namun ia menghapus keinginan tersebut karena kondisi orang tua dan adik-adiknya yang saat ini memerlukan biaya untuk kehidupan sehari-hari serta biaya sekolah. Ia merasa harus membiayai adik-adiknya untuk sekolah, setidaknya sama seperti dia. Untuk itu dia harus bekerja, bekerja dan bekerja. Dan kini ia dalam masa percobaan selama 3 bulan di sebuah perusahaan percetakan di Banten.

Diatas adalah satu dari sekian banyak kisah nyata yang terjadi di negeri ini, negeri tempat kita dilahirkan. Banyak orang-orang yang bernasib seperti Mei, bahkan tidak sedikit yang kondisinya lebih buruk.

********

Kualitas dan harga adalah dua hal yang berbanding lurus. Biaya produksi suatu barang dengan kualitas baik lebih tinggi daripada barang serupa tetapi dengan kualitas kurang baik. Begitu pun dengan dunia pendidikan, untuk meningkatkan kualitas diperlukan biaya yang tinggi. Di sisi lain kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia terbatas, maka hal ini menimbulkan keluhan-keluhan mengenai mahalnya biaya pendidikan.

Rendahnya mutu pendidikan adalah salah satu permasalahan yang terjadi di Indonesia. Data World Bank (1998) menunjukkan rendahnya kemampuan membaca siswa SD kita jika dibandingkan dengan anak-anak dari negeri tetangga kita, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Data TIMSS (1997) menunjukkan rendahnya prestasi Matematika dan sains siswa SLTP kita dibanding dari siswa 40-an negara lain. Prestasi siswa SMU di Indonesia pun kurang memuaskan pada ajang Olimpiade Matematika Internasional (IMO) yang tiap tahun diadakan. Data Asia Week (2000) memosisikan perguruan tinggi Indonesia di peringkat bawah dalam hal mutu pendidikan tinggi.

Pada saat seperti ini, untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu diperlukan biaya yang tinggi. Guru yang profesional, peralatan praktikum yang lengkap, dsb. Semua itu memerlukan biaya yang tinggi. Namun biaya yang tinggi tidak identik dengan mahal.Pendidikan tidak menjadi mahal apabila pemerintah mampu membuat dan melaksanakan kebijakan yang tepat dalam hal pendidikan.

Subsidi pendidikan adalah hal yang sangat menentukan besar kecilnya biaya yang harus masyarakat atau orang tua berikan. Mengenai subsidi pendidikan ini, pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki konsep yang cukup bagus. Diantaranya ialah : (1). Adanya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dapat membantu dalam hal pemikiran, gagasan, dan dana untuk mengembangkan pendidikan (pasal 56 ayat 2 dan 3 UU Sisdiknas). (2). Pada pasal 49 ayat1 UU Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD.

Kedua konsep tersebut sebenarnya sudah dapat menunjang dunia pendidikan di Indonesia, namun sayangnya pemerintah kita tidak konsisten untuk menjalankannya. Fungsi Dewan Sekolah dan Komite Sekolah tidak dijalankan dengan benar, subsidi pendidikan dari pemerintah yang jauh dari seharusnya (sekitar 4,6% seharusnya 20%). Hal itulah yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia sulit untuk bangkit. Bagaimana mau bangkit kalau masyarakat, pemerintah apalagi presidennya kurang peduli terhadap pendidikan ! Apakah kita akan terus melihat orang-orang seperti Mei kembali …….?

********

Reorientasi Peran Mahasiswa

Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada di persimpangan. Antara perjuangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent of change and social control, kini mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu.

Jika kita membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka akan kita jumpai disana lembaran yang mengharumkan nama mahasiswa. Sekelompok kecil mahasiswa menempati posisi terdepan, yakni sebagai pelopor. Bahkan posisi kepeloporan tersebut menjadi amat eksklusif, hal ini disebabkan masih langkanya kekuatan sosial kepemudaan selain mahasiswa dimasa kebangkitan nasional tersebut. Bukan hanya itu, ketika kita membuka lembaran sejarah perjuangan pasca perang kemerdekaan, kita juga akan menjumpai beberapa lembaran yang kembali mengharumkan nama mahasiswa. Jatuhnya rezim orde lama dan orde baru pun tak lepas dari kepeloporan mahasiswa di garda depan perjuangan. Tidak berlebihan kiranya jika kemudian masyarakat mengklaim mahasiswa sebagai agent of change and social control, walaupun sesungguhnya yang harus mengontrol kondisi sosial dan melakukan perubahan adalah seluruh masyarakat, bukan hanya mahasiswa.

Mulai Pudar
Namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor perubahan1 yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit sekali peran nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Sistem pendidikan yang hanya ingin menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring” mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis) daripada penguasaan aspek how to do things (keterampilan) menyebabkan munculnya pandangan-pandangan pragmatis di kalangan mahasiswa. Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah ada didepannya tanpa mau membuka kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya. Djaduk Ferianto (seorang seniman asal Yogyakarta) berpendapat sistem pendidikan saat ini seperti pabrik yang hanya mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil semasa kuliah.
Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang saat ini sedang digalakkan oleh perguruan tinggi. Efek negatif yang dapat timbul pada diri mahasiswa ialah IP minded atau lebih dikenal dengan istilah SO (Study Oriented). Mahasiswa terbuai dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir bagaimana memecahkan teori atau soal untuk sekadar mengejar nilai A, tanpa mau memikirkan aplikasi yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Terciptalah mahasiswa yang pandai berteori dengan penguasaan aplikasi yang tipis.

Tidak jauh berbeda dengan PPK, kebijakan-kebijakan lain seperti pemotongan masa kuliah menjadi 6 tahun2 serta sanksi berupa pembayaran SPP sebesar 2 kali lipat3 apabila kuliah lebih dari 5 tahun pun dapat menimbulkan ekses yang negatif, yakni berkurangnya kreativitas mahasiswa. Mahasiswa hanya memikirkan bagaimana caranya agar lulus tepat waktu (4 tahun). Sehingga kegiatan-kegiatan kemahasiswaan berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebelumnya diramaikan dengan aktivitas dan kreativitas mahasiswa, kini mulai ditinggalkan. Banyak mahasiswa yang berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama. Padahal hal tersebut sangat diperlukan pada setiap lingkungan sosial.

Reorientasi Peran
Memang setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control takkan pernah berubah. Karakter pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri mahasiswa dan takkan usang walau ditelan zaman. Rakyat masih memerlukan sentuhan kepedulian mahasiswa. Reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa, bahkan sampai menelan korban jiwa, hingga saat ini belum selesai. Mahasiswa merupakan iron stock bangsa dan negara dimasa depan, sesuai dengan jargon yang kerapkali diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu perlu adanya orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin dimasa yang akan datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat terwujud.

















1) sikap mental yang ofensif, senantiasa berada digarda terdepan dalam merespon setiap perubahan positif yang terjadi dimasyarakat serta berusaha meminimalisir kejumudan, status quo dan perubahan negatif
2) kebijakan ini diterapkan pada salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
3) idem

Mein Name Dwi...


Image hosting by Photobucket