Mei adalah nama seorang anak perempuan yang berasal dari suatu desa di Jawa tengah. Ia merupakan anak sulung dari 4 (empat) bersaudara, sejak lulus SLTP ia disekolahkan oleh saudaranya di Bandung, di sebuah SLTA swasta. Hal itu dilakukan karena orang tua Mei sudah tidak mampu membiayai sekolah sampai ke SLTA, apalagi perguruan tinggi.
Selama sekolah di Bandung ia juga turut membantu pekerjaan rumah ditempat ia tinggal, seperti memasak, menyapu, membersihkan lantai, dsb. Hari demi hari dilaluinya dengan tabah, tanpa melupakan kondisi orang tua dan adik-adiknya dikampung halaman. Selepas SLTA ia ingin menjadi guru dengan melanjutkan studi nya di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung. Hal tersebut mungkin dilakukan oleh Mei, karena kondisi saudaranya yang tergolong mampu. Namun ia menghapus keinginan tersebut karena kondisi orang tua dan adik-adiknya yang saat ini memerlukan biaya untuk kehidupan sehari-hari serta biaya sekolah. Ia merasa harus membiayai adik-adiknya untuk sekolah, setidaknya sama seperti dia. Untuk itu dia harus bekerja, bekerja dan bekerja. Dan kini ia dalam masa percobaan selama 3 bulan di sebuah perusahaan percetakan di Banten.
Diatas adalah satu dari sekian banyak kisah nyata yang terjadi di negeri ini, negeri tempat kita dilahirkan. Banyak orang-orang yang bernasib seperti Mei, bahkan tidak sedikit yang kondisinya lebih buruk.
********
Kualitas dan harga adalah dua hal yang berbanding lurus. Biaya produksi suatu barang dengan kualitas baik lebih tinggi daripada barang serupa tetapi dengan kualitas kurang baik. Begitu pun dengan dunia pendidikan, untuk meningkatkan kualitas diperlukan biaya yang tinggi. Di sisi lain kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia terbatas, maka hal ini menimbulkan keluhan-keluhan mengenai mahalnya biaya pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan adalah salah satu permasalahan yang terjadi di Indonesia. Data World Bank (1998) menunjukkan rendahnya kemampuan membaca siswa SD kita jika dibandingkan dengan anak-anak dari negeri tetangga kita, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Data TIMSS (1997) menunjukkan rendahnya prestasi Matematika dan sains siswa SLTP kita dibanding dari siswa 40-an negara lain. Prestasi siswa SMU di Indonesia pun kurang memuaskan pada ajang Olimpiade Matematika Internasional (IMO) yang tiap tahun diadakan. Data Asia Week (2000) memosisikan perguruan tinggi Indonesia di peringkat bawah dalam hal mutu pendidikan tinggi.
Pada saat seperti ini, untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu diperlukan biaya yang tinggi. Guru yang profesional, peralatan praktikum yang lengkap, dsb. Semua itu memerlukan biaya yang tinggi. Namun biaya yang tinggi tidak identik dengan mahal.Pendidikan tidak menjadi mahal apabila pemerintah mampu membuat dan melaksanakan kebijakan yang tepat dalam hal pendidikan.
Subsidi pendidikan adalah hal yang sangat menentukan besar kecilnya biaya yang harus masyarakat atau orang tua berikan. Mengenai subsidi pendidikan ini, pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki konsep yang cukup bagus. Diantaranya ialah : (1). Adanya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dapat membantu dalam hal pemikiran, gagasan, dan dana untuk mengembangkan pendidikan (pasal 56 ayat 2 dan 3 UU Sisdiknas). (2). Pada pasal 49 ayat1 UU Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD.
Kedua konsep tersebut sebenarnya sudah dapat menunjang dunia pendidikan di Indonesia, namun sayangnya pemerintah kita tidak konsisten untuk menjalankannya. Fungsi Dewan Sekolah dan Komite Sekolah tidak dijalankan dengan benar, subsidi pendidikan dari pemerintah yang jauh dari seharusnya (sekitar 4,6% seharusnya 20%). Hal itulah yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia sulit untuk bangkit. Bagaimana mau bangkit kalau masyarakat, pemerintah apalagi presidennya kurang peduli terhadap pendidikan ! Apakah kita akan terus melihat orang-orang seperti Mei kembali …….?
********