Selasa, 13 Juni 2006, sejumlah anggota DPR menyampaikan semacam petisi atau memorandum yang ditandatangani oleh 56 orang anggota DPR untuk menolak peraturan daerah (perda) bernuansa syariah Islam kepada wakil ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno. Saat ini setidaknya ada 15 perda bernuansa syariah Islam yang berlaku di beberapa daerah (Media Indonesia, 21 Juni 2006). Mereka menilai perda-perda tersebut inkonstitusional dan merupakan pintu masuk pemberlakuan hukum Islam bahkan negara Islam. Satu hari kemudian, tepatnya tanggal 14 Juni, 5 orang anggota DPR dari 56 penandatangan petisi mencabut dukungannya. Bagai gayung bersambut, sebanyak 134 anggota DPR yang mendukung perda tersebut kemudian mengeluarkan kontra memorandum kepada ketua DPR.
Hal dukung mendukung ataupun sebaliknya merupakan suatu hal yang biasa di DPR, namun yang menjadi kurang biasa ialah apa yang dilakukan oleh 51 anggota DPR tersebut merupakan suatu hal yang bertentangan dengan iklim demokrasi di Indonesia, otonomi daerah serta aturan perundangan yang berlaku. Selain itu pernyataan inkonstitusional pun sebenarnya tidak terbukti, sebab proses legislasi perda-perda tersebut berjalan dengan demokratis, transparan dan partisipatif.
Perda-perda bernuansa Syariah Islam adalah bagian dari demokrasi dan merupakan kemauan dari masyarakat setempat. Perda-perda tersebut merupakan cerminan kesadaran masyarakat dalam berlegislasi, kesadaran masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama dan menginginkan perbaikan di tengah masyarakat. Tak ada yang salah dengan perda-perda tersebut, justru memberikan angin perubahan bagi bangsa mengingat hukum yang ada selama ini terlihat tidak mampu memberantas apapun yang meresahkan masyarakat. Oleh sebab itu Perda bernuansa syariah merupakan bentuk penegasan dan aplikasi dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Syariah Islam sama sekali tak bertentangan dengan Pancasila ataupun UUD 1945 sebab Pancasila merupakan ideologi relijius yang dicerminkan dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Syariah Islam pun merupakan nilai-nilai Islam yang hidup dalam masyarakat lalu diserap dalam suatu peraturan, tidak berbeda dengan nilai global atau nilai lokal yang menjadi aturan. Jadi semua perda tersebut merupakan bagian dari NKRI, bagian dari kebhinekaan, dan bagian dari demokrasi yang disusun oleh pemerintah daerah (pemda) dan DPRD setempat. Keinginan untuk memberlakukan perda bernuansa syariah pun harus tetap diakomodir oleh pemerintah sebagai wujud dari negara kesatuan dan persatuan.
Pembuatan perda merupakan kewenangan pemerintah daerah, hal ini sesuai dengan semangat otonomi daerah yang dilandasi oleh UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Adapun dimensi keagamaan yang kuat dalam sebuah perda dimulai sejak awal perumusan identitas atau visi lokal suatu daerah, biasanya melalui perumusan Rencana Strategis (Renstra) arah pembangunan daerah. Bagi pemerintah daerah, Renstra adalah sesuatu yang substantif. Sebab, menurut PP No. 108 Renstra berfungsi sebagai pedoman dalam menjalankan tugas dan kewajiban bagi kepala daerah. Di Tasikmalaya misalnya, perda No. 3 tahun 2000 mendefinisikan Renstra bahwa Kabupaten Tasikmalaya yang Islami. Setelah itu baru lahir perda-perda seperti perda masalah prostitusi, pemberantasan pelacuran, minuman keras, pengaturan jadwal berenang laki-laki dan perempuan, kewajiban mengikuti sekolah diniyah bagi siswa muslim, dan ketentuan seragam sekolah yang menutup aurat. Adapun perda-perda lain yang bernuansa syariah Islam di beberapa daerah antara lain, perda yang diterbitkan oleh Pemda provinsi Gorontalo No.10 tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat, Perda Pemda Solok No. 10/2004 tentang Wajib Baca Al-Qur'an, Perda Pemda Enrekang (Sulsel) No.6/2005 tentang Busana Muslim, dan lain sebagainya. Perda-perda tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Pemda, DPRD dan masyarakat setempat yang bertujuan untuk membangun daerah tersebut.
Adapun anggota-anggota DPR yang mengajukan petisi dan mendorong presiden agar mencabut perda-perda yang telah berlaku lebih dari 60 hari merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan oleh undang-undang. Sebab aturan perundangan hanya memungkinkan pencabutan lewat proses judicial review ke MA. Sebelum pembatalan perda dilakukan, pemerintah harus dapat membuktikan bahwa perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 145 ayat2) melalui uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bukan mengajukannya ke DPR.
No comments:
Post a Comment