Harus kita akui pada saat ini, belum ada lembaga yang sengaja memikirkan sistematika khusus dan mengimplementasikannya untuk melahirkan seorang pemimpin kecuali TNI (dulu ABRI). Tidak sedikit masyarakat maupun organisasi yang menganggap bahwa kepemimpinan adalah given (pemberian atau anugerah) semata, tidak perlu upaya dan rekayasa. Sang satria piningit (pemimpin) sudah ada dengan sendirinya, terlahir dengan sendirinya. Tinggal ditunggu kemunculannya.
Selain kendala diatas, juga terjadinya dislokasi sosial pada aktivis, angkatan 66 misalnya. Mereka berhasil menggulingkan pemerintahan dan mengangkat Soeharto, yang pada akhirnya turut menikmati hasil pembangunan ekonomi, namun pada akhirnya terjebak tidak dapat menjadi generasi penerus dan penegas pergerakan untuk perubahan.
Keberhasilan Soeharto menggantikan Soekarno ternyata berimbas panjang, terutama karena adanya konflik Gerakan 30 September. Selepas G-30 S PKI sampai dengan saat ini kita dapat melihat bahwa militer menjadi anak emas. Partai politik dan masyarakat berpikir semua kepemimpinan politik dapat disediakan militer (TNI), tidak perlu ada kaderisasi di partai politik. Hal tersebut telihat nyata sampai dengan saat ini, terutama ketika rezim Soeharto, dimana hampir seluruh kepemimpinan di negara ini dikuasai militer, mulai dari kepala kelurahan sampai kepala negara.
Kecenderungan partai politik untuk tidak menyediakan kader pemimpin dari partainya terbawa sampai dengan saat ini. Mereka cenderung berpikir bagaimana menghadapi, meraih dan melanggengkan kekuasaan semata tanpa disertai dengan penyiapan pemimpin bangsa kedepan, ditambah dengan belum dioptimalkannya potensi anak muda dalam partai politik bersangkutan.
Apabila kita lihat pada alur sejarah kepemimpinan bangsa ini, sebelum kebangkitan nasional pemimpin pada umumnya muncul dari kalangan agama atau budaya (darah biru). Pada tahun 1900-an, mulai muncul trend baru kepemimpinan di bangsa kita, dimana pemuda yang mengenyam pendidikan pada masa itu, sekitar 20-30 tahun berikutnya muncul sebagai pimpinan nasional, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dsb. Ketika Indonesia merdeka, maka usaha mempertahankan kemerdekaan adalah aktivitas utama. Sehingga aktivitas militer menjadi core atau inti bagi bangsa ini. Anak muda yang terekrut melalui jalur militer pada tahun-tahun ini setelah 20-30 tahun, keberanian mengantar mereka pada jalur utama kepemimpinan nasional, ditambah dengan munculnya peristiwa Gerakan 30 September yang sudah disinggung diawal. Kecenderungan ini bukanlah suatu hal yang aneh disuatu negara yang baru merdeka, militer menjadi dominan.
Pada masa 60-an, bahkan sampai dengan belasan dan puluhan tahun kedepan, kepemimpinan militer menjadi langgeng karena tidak ada akomodasi terhadap demokrasi. Masa 70-an, kecenderungan berubah dengan munculnya pergerakan pemuda terutama kalangan intelektual. Namun gerakan intelektual pada masa ini dinilai berbeda apabila dibandingkan dengan pada masa-masa awal yakni tahun 1900-an. Pada masa 70-an dinilai lebih kecil karakter intelektualitas gerakannya, karena yang lebih dominan ialah gerakan politik praktisnya.
Memasuki era 90-an, ketika demokratisasi mulai muncul, maka peluang kader pemimpin pun terbuka. Liberalisasi politik membuka peluang bagi pemuda aktif dalam kancah politik nasional. Mereka inilah yang muncul sebagai pemimpin gerakan nasional beberapa waktu belakangan ini. Pada era ini, aktifis mahasiswa tahun 60, 70, 80-an mengisi lembaga-lembaga politik negara dari mulai legislatif sampai eksekutif di berbagai tingkatan.
Lantas bagaimana saat ini dan kedepan ? Kecenderungan utama yang sangat memengaruhi pada saat ini dan kedepan ialah pasar. Pasar begitu mewarnai kehidupan masyarakat dan menyebabkan semua aktifitas menjadi bersifat transaksi komersial. Maka dengan kondisi seperti itu, pemimpin kedepan ialah mereka yang saat ini berada di sektor private, memiliki basis intelektual dan juga aktivis. Kedepan kaum muda dari kalangan sektor private ini akan semakin dominan lantaran tidak adanya pengaturan antar wilayah ekonomi, pasar dan politik.
Periode Kemudaan | Periode Maturitas | | | | | | | | | |||||
| | | | Periode Kemudaan | Periode Maturitas | | | | | |||||
| | | | | | Periode Kemudaan | Periode Maturitas | | | |||||
| | | | | | | | | Periode Kemudaan | Periode Maturitas | ||||
1900 | 1910 | 1920 | 1930 | 1940 | 1950 | 1960 | 1970 | 1980 | 1990 | 2000 | 2010 | 2020 | 2030 | |
Berikut skema pola/alur kepemimpinan bangsa kita :
Penjelasan :
Warna jingga menunjukkan periode kaum intelek berpendidikan pada tahun 1900-an, dimana pada periode kemudaan mengenyam pendidikan, periode maturitas (dewasa) menjadi pimpinan nasional.
Warna hijau menunjukkan periode militer, pada masa kemudaan direkrut menjadi militer dan menjadi pimpinan nasional sampai 2000-an.
Warna merah menunjukkan periode aktivis, pada masa kemudaan terekrut pada organisasi massa dan politik, pada periode maturitas kepemimpinan nasional sebagai seorang aktivis.
Warna biru muda menunjukkan periode sektor privat, periode kemudaan dalam dunia bisnis ditunjang dengan pendidikan dan keaktifannya dalam organisasi, dalam masa maturitas kepemimpinan nasional sebagai seorang pengusaha
2 comments:
saat membaca tulisan ini saya jadi ingat apa yang disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina di acaranya UII pada bulan .....(lupa). tapi kira2 kapan ya golongan para pendidik bisa jadi pemimpin???
maturnuwun
Pemimpin seperti apa? Semoga artikel ini bermanfaat……
Kepemimpinan Yang Jazzy : Sebuah Metafora
Kepemimpinan yang bertumpu pada daya kreasi rakyat atau bahkan kepemimpinan sebagai sebuah kolektif kesadaran rakyat untuk menggerakan perubahan
Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing, segudang pakem-pakem musik klasik, maka didalam musik jazz kebebasan, kreatifitas, keliaran, kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, piano yang masing-masing berdaulat penuh.
Disatu sisi ada keliaran, tapi segala keliaran tetapmenghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan, saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masingmusisi sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya, yakni kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.
Jadi selain kebebasan juga ada semangat saling memberi ruang dan kebebasan, saling memberi kesempatan tiap musisi mengembangkan keliarannya (improvisasi) meraih performance terbaik. Keinginan saling mendukung, berdialog, bercumbu bukan saling mendominasi, memarginalisasikan dan mengabaikan.
Seringkali saat bermusik ada momen-momen ketika seorang musisi diberikan kesempatan untuk tampilkedepan untuk menampilkan performance sehebat-hebatnya, sedangkan musisi lain agakmenurunkan tensi permainannya.
Tapi anda tentunya tau gitar tetap gitar, tambur tetap tambur, piano tetap piano. Namun demikian dialog antar musisi dilakukan juga dengan cara musisi piano memainkan cengkok saxophone, musisi perkusi memainkan cengkok bass betot. OHOOOOOOOOO guyub dan elok nian.
Lepas dari jiwa musik jazz yang saya sampaikansebelumnya tetap saja ada juga yang 'memimpin', pusatgagasan dan inspirasi tentunya dengan kerelaan memberi tempat kepemimpinan dari semua musisi. Bisa dalam bentuk beberapa person/lembaga maupun kolektifitas.
Misalnya dalam grup Chakakan bahwa vocalisnya Chahakan adalah inspirator utama grup ini. Apa yang menarikdari vokalis Chahakan ini adalah dia yang menjadi inspirator, penulis lagu dan partitur dasar musiknya,selain itu improvisasi, keliaran dan kekuatan vokalnya menebarkan energi , menyetrum dan meledakkan potensi musisi pendukungnya.
Model kepemimpinannya bukan seperti dirigen dalam musik klasik yang menjaga kepatuhan dan disiplin tanpa reserve, tetapi lebih menjadi penjaga semangat (nilai-nilai, atau bahkan cita-cita kolektif), memberiruang bagi setiap musisi untuk pengayaan gagasan danproses yang dinamis. Baik ketika mematerialkan gagasan maupun ketika berproses di panggung atau di studio rekaman. Tidak memaksakan pola yang baku dan beku, tetapi sangat dinamis dan fleksibel.
Setiap penampilan mereka di panggung adalah penemuan cengkok-cengkok baru, nyaris sebenarnya setiap performance selalu baru. Tidak ada penampilan yang persis sama. Tetapi tetap mereka dipandu tujuan yang sama memuaskan kebutuhan masing-masing musisi dan pendengarnya,menggerakan dan merubah.
Yang menarik juga dari jazz ini adalah sifatnya yangterbuka, open mind, open heart. Waljinah, master penyanyi keroncong dengan lagu walang kekeknya, ataulagu bengawan solonya gesang, atau darah juang lagu perlawanan itu, ravi shankar dengan sitar, rebab dan spirit indianya, atau bahkan internasionale dan maju tak gentar, atau imaginenya john lennon, atau reportoar klasik bach, bahkan dangdut pun, bahkan lagu-lagu spiritual bisa diakomodir oleh musisi jazz dan jadi jazzy.
Itulah karakter kepemimpinan yang asyik, kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan spiritual, menjaga dan menyalakan spirit/semangat/ nilai-nilai/ garis perjuangan, menyeimbangkan dan mencapai harmoni musik.
Selain itu kepemimpinan ini harus bisa fleksibel dalam pengayaan pilihan-pilihan pendekatan, bisa menawarkannuansa keroncong, dangdut, gending, samba, regge,rock, gambus, pop, klasik dalam bermusik jazz. Ataumemberi peluang atau kesempatan satu musisi atau alat musik leading, maju kedepan dan yang lainnyamemperkaya di latar belakang. Lepas dari itu bukan berarti saya lebih mencintai jazz, dibanding klasik, new age atau dangdut, tetapiini lebih kepada menemukan analogi dan metafora.
Salam hangat
Post a Comment