Pada tahun 1966 pendapatan perkapita Korea Selatan hanya US$ 125. Pada saat itu, indikator makro pendidikan memperlihatkan bahawa angka partisipasi kasar pendidikan (APK) untuk tingkat SD, SLTP SLTA dan PT berturut-turut ialah 98%, 40%, 25% dan 3%. Pada tahun 1980 atau 14 tahun kemudian, Korsel telah mencapai kemajuan perekonomian, dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.592 atau sekitar 1,5 kali dibandingkan pencapaian perkapita Indonesia pada tahun 1997. Pada saat yang sama APK untuk SD, SLTP, SLTA dan PT setinggi 100%, 97%, 62% dan 16%. Dan pada tahun 1993 data menunjukkan APK telah mencapai 100%, 100%, 90% dan 45% dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 7.306. Kemajuan ekonomi telah memberikan manfaat terhadap pembiayaan pada sektor pendidikan.
Pengalaman Korsel tersebut menunjukkan perlunya prasyarat kriteria pendidikan harus dapat mencapai mass education untuk kelompok usia 7-15 tahun. Kriteria ’perluasan pendidikan’ makro tersebut kemudian diikuti oleh kriteria pemenuhan kualitas masukan pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan. Korea Selatan juga merupakan negara di Asia yang membiayai program penelitian dan pengembangan (R & D) tertinggi, sekitar 2-2,5% GNP.
Begitupun dengan Malaysia, dengan eks-PM-nya Mahathir Mohammad yang mengintegrasikan aspek pendidikan ke dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Malaysia. Dimana aspek pendidikan secara konsisten dijalankan. Compulsory education dipilih justru untuk jenjang pendidikan tinggi , bagi mereka tamatan yang memiliki passing grade yang baik.
Dari dua model negara tersebut, jelas bahwa komitmen dan konsistensi untuk menerapkan kebijakan dibidang pendidikan harus dapat dirasakan mulai dari pucuk pimpinan negara sampai kalangan masyarakat ’bawah’ dengan konsekuensi pengorbanan untuk memberikan porsi pembiayaan pendidikan oleh pemerintah juga harus dilakukan. Disamping itu terlihat pula adanya masa transisi, yakni sepulangnya SDM yang terdidik benar-benar diberi peluang untuk berkarya sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya brain drain.
Lantas bagaimana sikap kita ??? Yang harus kita lakukan ialah ikuti jejak mereka ! Semua orang harus memahami dan mengambil sikap bersama untuk menyeleksi dan mempersiapkan generasi emas untuk memperoleh pendidikan. Untuk itu perlu dilakukan berbagai tahapan. Pertama, melakukan kalkulasi terhadap kebutuhan SDM terdidik di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi. Kedua, memetakan keilmuan dan keterampilan agar dalam jangka panjang jelas bidang garapan mana generasi emas kita hasilkan. Ketiga, tahapan persiapan untuk mencapai itu, tahap pelaksanaan dan tahap penempatan serta pemantapan jenjang karir. Jika tahapan ini dapat dilakukan secara terstruktur dan terarah, maka generasi emas kita akan dapat berperan mulai tahun 2026.
Tidak sedikit SDM terdidik yang memperoleh pendidikan di negara asing dan dalam negeri tidak menggunakan keilmuan tersebut untuk ditekuni dan dikembangkan. Penggunaan ilmu memang fleksibel, namun kita membuang waktu dalam meningkatkan daya saing bangsa. Kekinian dari posisi Indonesia dapat dilihat dari daftar peringkat negara yang tinggi sampai rendah daya saingnya. Dari 60 negara yang tercantum dalam The World Competitiveness Scoreboard tahun 2005, Indonesia berada pada peringkat ke-59, setingkat diatas Venezuela. Peringkat pertama adalah AS, kemudian disusul Hongkong, dan Singapura. Negara tetangga seperti Thailand (peringkat ke-27), Malaysia (peringkat ke-28), dan Filipina (peringkat ke-49). Peringkat tersebut menunjukkan kesiapan suatu bangsa untuk menghadapi era globalisasi. Semoga kita menjadi diantara generasi emas tersebut.
- Jong Ha-Han. Education and Industrialization
- Elfindri H. Prof. Berburu Beasiswa.
No comments:
Post a Comment