Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada di persimpangan. Antara perjuangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent of change and social control, kini mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu.
Jika kita membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka akan kita jumpai disana lembaran yang mengharumkan nama mahasiswa. Sekelompok kecil mahasiswa menempati posisi terdepan, yakni sebagai pelopor. Bahkan posisi kepeloporan tersebut menjadi amat eksklusif, hal ini disebabkan masih langkanya kekuatan sosial kepemudaan selain mahasiswa dimasa kebangkitan nasional tersebut. Bukan hanya itu, ketika kita membuka lembaran sejarah perjuangan pasca perang kemerdekaan, kita juga akan menjumpai beberapa lembaran yang kembali mengharumkan nama mahasiswa. Jatuhnya rezim orde lama dan orde baru pun tak lepas dari kepeloporan mahasiswa di garda depan perjuangan. Tidak berlebihan kiranya jika kemudian masyarakat mengklaim mahasiswa sebagai agent of change and social control, walaupun sesungguhnya yang harus mengontrol kondisi sosial dan melakukan perubahan adalah seluruh masyarakat, bukan hanya mahasiswa.
Mulai Pudar
Namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor perubahan1 yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit sekali peran nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Sistem pendidikan yang hanya ingin menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring” mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis) daripada penguasaan aspek how to do things (keterampilan) menyebabkan munculnya pandangan-pandangan pragmatis di kalangan mahasiswa. Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah ada didepannya tanpa mau membuka kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya. Djaduk Ferianto (seorang seniman asal Yogyakarta) berpendapat sistem pendidikan saat ini seperti pabrik yang hanya mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil semasa kuliah.
Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang saat ini sedang digalakkan oleh perguruan tinggi. Efek negatif yang dapat timbul pada diri mahasiswa ialah IP minded atau lebih dikenal dengan istilah SO (Study Oriented). Mahasiswa terbuai dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir bagaimana memecahkan teori atau soal untuk sekadar mengejar nilai A, tanpa mau memikirkan aplikasi yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Terciptalah mahasiswa yang pandai berteori dengan penguasaan aplikasi yang tipis.
Tidak jauh berbeda dengan PPK, kebijakan-kebijakan lain seperti pemotongan masa kuliah menjadi 6 tahun2 serta sanksi berupa pembayaran SPP sebesar 2 kali lipat3 apabila kuliah lebih dari 5 tahun pun dapat menimbulkan ekses yang negatif, yakni berkurangnya kreativitas mahasiswa. Mahasiswa hanya memikirkan bagaimana caranya agar lulus tepat waktu (4 tahun). Sehingga kegiatan-kegiatan kemahasiswaan berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebelumnya diramaikan dengan aktivitas dan kreativitas mahasiswa, kini mulai ditinggalkan. Banyak mahasiswa yang berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama. Padahal hal tersebut sangat diperlukan pada setiap lingkungan sosial.
Reorientasi Peran
Memang setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control takkan pernah berubah. Karakter pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri mahasiswa dan takkan usang walau ditelan zaman. Rakyat masih memerlukan sentuhan kepedulian mahasiswa. Reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa, bahkan sampai menelan korban jiwa, hingga saat ini belum selesai. Mahasiswa merupakan iron stock bangsa dan negara dimasa depan, sesuai dengan jargon yang kerapkali diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu perlu adanya orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin dimasa yang akan datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat terwujud.
1) sikap mental yang ofensif, senantiasa berada digarda terdepan dalam merespon setiap perubahan positif yang terjadi dimasyarakat serta berusaha meminimalisir kejumudan, status quo dan perubahan negatif
2) kebijakan ini diterapkan pada salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
3) idem
No comments:
Post a Comment