Thursday, November 17, 2005

Krisis Ekonomi Jilid II

Krisis

Kelangkaan bahan bakar minyak yang diikuti kenaikan harga BBM dan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat bayang-bayang krisis ekonomi jilid kedua menghantui kehidupan ekonomi rakyat. Dua pekan lalu nilai rupiah kembali terseok-seok dan sempat menembus angka Rp 11.750 per satu dollar AS, seperti yang terakhir terjadi April 2001 ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada pada kisaran Rp 11.600. Jika terpuruknya rupiah ini berkelanjutan, tak pelak lagi, harga barang-barang kebutuhan akan melonjak. Padahal, laju kenaikan penghasilan sangat tidak sepadan. Kekhawatiran akan kembalinya krisis ekonomi diam- diam mulai kembali menyelimuti masyarakat.

Dari hasil jajak pendapat Kompas 30-31 Agustus lalu yang dilakukan untuk menyoroti penyikapan masyarakat terhadap merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Dua pertiga (66,4 persen) responden yang dihubungi lewat telepon ini mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa bangsa ini akan kembali ke krisis ekonomi seperti saat awal reformasi tahun 1998.

Di mata masyarakat, krisis ekonomi itu identik dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan dan melemahnya daya beli. Kelangkaan dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) saat ini seakan menjadi pukulan pertama yang akan diikuti hantaman-hantaman berikutnya terhadap sendi-sendi perekonomian rakyat sehari-hari.

Merosotnya nilai tukar rupiah sebagai hantaman kedua, meskipun baru pada fase awal, ternyata sudah cukup membuat masyarakat merasakan dampaknya. Bagaimanapun, turunnya nilai kurs ini sudah memengaruhi pola belanja kebutuhan sehari-hari bagi sebagian masyarakat. Kecuali naiknya harga barang impor yang sering dihargai dengan mata uang asing, seperti produk-produk komputer dan barang-barang elektronik lainnya, kenyataan di lapangan memang belum menunjukkan kenaikan harga barang-barang kebutuhan yang lebih umum secara signifikan.

Persoalan Mendasar dan Solusi

Ada beberapa persoalan mendasar yang kalau tidak ada upaya yang dilakukan, baik oleh pihak pemerintah maupun BI untuk mengatasinya, akan terus mengganggu kestabilan rupiah yang pada akhirnya akan mengacaukan stabilitas ekonomi. Pertama, Indonesia menganut rezim devisa bebas. Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar menyebutkan, setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.

UU ini sangat singkat pasal-pasalnya sehingga dapat ditafsirkan secara luas, seperti penduduk dapat dengan bebas membawa devisa ke luar negeri dan menempatkan devisanya di mana saja di luar negeri. Tujuan diterapkan sistem ini adalah agar investasi asing tertarik masuk ke Indonesia karena dapat mudah masuk dan juga tidak dihambat apabila ingin keluar lagi suatu saat nanti.

Namun, kenyataannya investasi asing di sektor riil untuk pembangunan sektor industri barang dan jasa tidak masuk seperti diharapkan. Yang bergerak keluar masuk dengan sangat cepat adalah uang panas untuk spekulasi mengejar keuntungan di investasi portofolio. Gerakan spekulan asing inilah yang membuat harga saham dan nilai tukar rupiah bisa jungkir balik selama ini.

UU ini membuka peluang kepada para manipulator, koruptor, dan pengusaha bermental maling dengan sangat bebas untuk melarikan hasil jarahannya keluar dari Indonesia ke Singapura atau negara lain. Sangat wajar kalau Singapura enggan diajak kerja sama dalam masalah ekstradisi karena ini adalah salah satu sumber pendanaan mereka.

Adanya UU ini dijadikan alasan oleh pemerintah bahwa tidak dapat mengharuskan eksportir untuk merepatriasi devisa hasil ekspornya. Eksportir dibiarkan memarkir sebagian besar devisanya di luar negeri. UU ini sudah mutlak harus diganti karena rezim devisa bebas tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan untuk mencapai stabilitas moneter guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Perubahannya bukan berarti harus berubah ekstrem menjadi rezim devisa terkontrol yang terlalu ketat, tetapi diatur yang sangat mendesak, seperti antara lain penggunaan devisa oleh penduduk. Sementara untuk investasi asing langsung (FDI) diberi keleluasaan agar mereka tetap tertarik masuk ke Indonesia.

Pemerintah dan BI harus memberikan alasan yang jelas dan masuk akal jika repatriasi devisa hasil ekspor sulit untuk dilaksanakan karena alasan kendala administrasi. Mengapa sebagian besar negara-negara di dunia bisa mengharuskan repatriasi devisa hasil ekspornya, sedangkan kita tidak bisa?

Indonesia sangat membutuhkan devisa untuk mengatasi minimnya pasokan dollar AS di tengah besarnya permintaan. Kalau hanya mengandalkan cadangan devisa BI, dapat dipastikan cepat atau lambat akan terkuras habis dan pada akhirnya akan membawa bencana lebih besar pada perekonomian Indonesia.

Kedua, sistem nilai tukar yang digunakan saat ini adalah sistem mengambang bebas. Nilai tukar bergerak sesuai kekuatan pasar. Sistem ini sangat rentan dari gangguan spekulan. Sejak Indonesia menggunakan sistem ini tahun 1997, rupiah tidak pernah bisa stabil, terus jungkir balik sampai dengan saat ini. Melihat fakta itu, perlu dicari solusi alternatif sistem lain yang dapat membuat rupiah tidak terus-menerus bergejolak.

Di antara berbagai sistem yang ada, tampaknya yang paling memungkinkan adalah Sistem Mengambang Terkendali, tetapi juga harus disertai dengan dukungan pengaturan yang ketat dalam perdagangan valas untuk menghilangkan unsur spekulasi. Bila perlu, apabila gerakannya sudah sangat luar biasa, pasarnya disuspensi sementara waktu. Bagi bank yang melakukan transaksi di luar batas yang ditentukan BI, dikenai sanksi yang berat. Dengan sistem ini, gerakan rupiah bisa dikendalikan untuk mencapai target BI dan pemerintah.

Ketiga, perdagangan valuta asing di Indonesia adalah yang paling bebas di dunia. Siapa pun boleh melakukan jual beli dollar AS terhadap rupiah, berapa pun besarnya dan untuk kepentingan apa saja. Akibatnya, kita tidak dapat membedakan apakah pembelian dollar saat ini untuk tujuan yang ada kaitannya dengan dunia usaha atau untuk spekulasi. Seharusnya, untuk meredam tekanan permintaan spekulasi, setiap pembelian dollar AS harus ada underlying transaction-nya. Misalnya, kalau ada perusahaan yang ingin membeli dollar AS untuk membayar barang impor, mereka harus memperlihatkan dokumen pendukung, seperti surat kredit (L/C)-nya. Kalau pembelian dengan alasan untuk bayar utang valuta asing, harus didukung oleh perjanjian utang. Sementara pembelian yang tak ada underlying- nya harus dibatasi, misalnya maksimal 25.000 dollar AS saja. Kalau ada pihak yang melakukan manipulasi dokumen, harus diberikan sanksi berat dan dimasukkan ke daftar hitam. Pihak bank juga harus bertanggung jawab akan keabsahan dokumen yang diajukan nasabah. Jika ada dokumen palsu yang berhasil lolos, bank itu juga harus diberikan sanksi.

Sementara sisi penjualan dollarnya tetap dibiarkan bebas karena memang saat ini Indonesia kekeringan suplai dollar AS. Selain itu, transaksi margin trading untuk dollar AS terhadap rupiah harus dilarang sama sekali karena transaksi ini murni spekulasi. Transaksi ini sangat berbahaya karena hanya dengan menyetor margin sebesar 10 persen, mereka bisa berspekulasi dalam jumlah yang sangat besar.

Pasar valas di Indonesia saat ini didominasi bank-bank asing, baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun nasabahnya. BI harus melakukan kontrol ketat karena bank asing jauh lebih menguasai seluk-beluk pasar uang dan pasar valas serta mempunyai kemampuan untuk merekayasa transaksi valas dan mendikte pasar ketimbang bank lokal.

Pemerintah dan BI juga harus membatasi jumlah staf asing yang saat ini mulai menguasai posisi penting di perbankan kita karena sulit mengharapkan mereka memikirkan kepentingan nasional.

Keempat, pasar derivatif di Indonesia saat ini tidak berkembang sehingga apabila nasabah memerlukan instrumen derivatif, seperti forward, foreign exchange swap, maupun option, untuk melakukan hedging (lindung nilai) atas kewajiban valuta asing mereka, terbatas sekali bank yang mau memberikan fasilitas untuk transaksi ini kepada nasabahnya.

Jadi, jika terlihat adanya indikasi rupiah akan mengalami tekanan, terjadilah kepanikan dan mereka ramai-ramai beli dollar AS di pasar spot yang menambah tekanan lebih berat lagi pada rupiah. BI harus mencarikan upaya agar pasar derivatif dapat berkembang atau untuk sementara waktu menyediakan fasilitas re-swap bagi perbankan ke BI.

Kelima, telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap mata uangnya akibat adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan BI. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh BI dengan tujuan mengendalikan tekanan terhadap rupiah, tetapi tak berdampak pada stabilitas rupiah.

Kredibilitas tim ekonomi di kabinet juga sudah mengalami kemerosotan yang luar biasa. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan bahwa mereka akan dapat membawa perekonomian ke arah yang lebih baik. Indonesia keadaannya semakin amburadul. Wajar kalau sebagian besar pelaku pasar dan dunia usaha kecewa berat terhadap paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah beberapa hari lalu karena terkesan pemerintah tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Harapan pelaku pasar begitu tinggi bahwa pemerintah akan melakukan langkah konkret yang segera dapat diharapkan meredam gejolak rupiah, ternyata yang keluar hanya rencana jangka panjang yang normatif dan tidak berdampak langsung pada masalah yang ada. Harapan kini tinggal pada BI untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, walaupun seharusnya pemerintah menyadari bahwa dukungan sektor fiskal sangat menentukan bagi keberhasilan sektor moneter.

Keenam, untuk mengatasi pelemahan rupiah, pemerintah perlu menempuh cara tepat dengan mengambil solusi ekonomi seperti mengurangi defisit, mengurangi subsidi demi sehatnya fiskal nasional tanpa harus menimbulkan dampak tidak baik terhadap rakyat bawah yang justru harus diberi proteksi.


# Farial Anwar, Alumnus FE Unair

# Kompas, 3 September 2005

Friday, November 04, 2005

Hemat BBM : Langkah Solutif Krisis BBM di Indonesia*

Fakta Seputar BBM

Selama delapan belas bulan terakhir harga minyak dunia telah naik dengan 36 USD per barrel, yaitu dari 24 menjadi 60 USD per barrel. Dengan kata lain, rata-rata selama sebulan, harga minyak dunia naik 2 USD per barrel. Harga minyak dunia tidak sekedar dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran global, tetapi sering kali kenaikannya dipicu oleh keadaan yang eksplosif. Bom di London yang terjadi pekan lalu, serta merta menaikkan harga minyak dunia dari 60 menjadi 62 USD per barrel. Dahulu jika harga melonjak, segera OPEC dapat meredam harga dengan meningkatkan kuota produksi. Tetapi sekarang yang lebih menentukan harga BBM dipasaran dunia bukan lagi OPEC, tetapi kartel-kartel yang terdiri dari para pedagang besar minyak dunia. Permintaan minyak dunia semakin meningkat, terutama dari Cina, India dan Korea, sementara pasokan dapat dikatakan tetap, sehingga harga pasti naik. Rencana Amerika Serikat untuk menguras minyak dari Irak ternyata tidak berhasil dan keadaan di Irak serta beberapa tempat di Timur Tengah tetap eksplosif. Keadaan ini tentu semakin memicu kenaikan harga minyak dunia. AS sendiri sangat konservatif dalam kebijakan stok nasionalnya sehingga diperkirakan dapat bertahan untuk kebutuhan dalam negeri AS hingga jangka waktu enam bulan. Bandingkan ini dengan Indonesia yang rata-rata hanya dua minggu bahkan pada minggu yang lalu, pasokan BBM dalam negeri hanya cukup untuk satu minggu saja.

Fakta lain adalah meningkatnya secara terus menerus konsumsi BBM dalam negeri selama lima tahun terakhir. Rata-rata sekitar 5-6 persen per tahun. Dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun kedepan, bukan tidak mungkin konsumsi BBM dalam negeri meningkat hingga 10% per tahun. Indonesia saat ini telah berubah dibandingkan dengan keadaan 10-20 tahun yang lalu. Pada periode yang silam, jika terjadi kenaikan harga minyak dunia akan menguntungkan negara. Sekarang tidak demikian halnya, justru setiap kenaikan harga BBM dunia akan memperbesar subsidi yang dikeluarkan Pemerintah. Yang lebih menyedihkan, demikian besar subsidi yang dikeluarkan Pemerintah, tetapi tetap tidak mencapai sasaran. Sebagai contoh, mengenai harga minyak tanah. Subsidi tahun ini yang diperkirakan sekitar 70 triliun rupiah, jika Pemerintah tidak menaikkan harga BBM, akan segera melonjak menjadi 100 triliun rupiah. Artinya, setiap hari negara mengeluarkan 300 miliar rupiah untuk subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati kalangan industri serta golongan menengah ke atas.

Sementara itu Pertamina yang masih memegang monopoli distribusi juga mengalami kesulitan likuiditas karena terlambatnya pencairan subsidi oleh Pemerintah. Akibatnya, Pertamina harus meminjam uang dari bank untuk modal kerjanya dan selanjutnya Pertamina harus membayar bunga bank yang tentu menaikkan harga BBM. Kebijakan harga ganda tidak efektif dan justru menimbulkan distorsi. Hal ini perlu diingatkan karena Pemerintah tampaknya akan menaikkan harga BBM untuk industri. Memang kebijakan ini tampaknya rasional dan populis. Tetapi sebenarnya, semakin besar perbedaan harga minyak tanah dan solar untuk rumah tangga dan industri, akan semakin mendorong penyelundupan minyak dari rumah tangga dan akan lari ke industri. Harga BBM di Indonesia adalah yang terendah kecuali dibandingkan dengan negara di Timur Tengah. Bahkan harga di Indonesia lebih rendah dari Timor Leste dan Laos yang jauh lebih miskin dari kita.

Hemat BBM

Hemat energi atau BBM adalah salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis BBM yang terjadi di Indonesia. Penghematan ini harus kita mulai sejak dini dan mulai dari hal-hal yang mungkin terlihat kecil seperti hemat listrik (mematikan computer, AC, dan barang-barang elektronik lain bila tidak dipakai), mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan pribadi, dan lain sebagainya. Untuk pemerintah sendiri, salah satu solusi untuk krisis BBM ini ialah dengan membuat batasan-batasan yang berkaitan dengan pemakaian BBM, terutama untuk sektor transportasi, karena pada sector ini penghematan akan sangat besar. Sayangnya, kebijakan penghematan di sektor ini belum terlihat. Rencana kenaikan PPn BM untuk mobil super mewah, tak akan banyak berarti, karena mobil seperti itu tidak banyak dipakai oleh pemilik, lagi pula jumlahnya sangat sedikit. Hal lain yang dapat dilakukan juga ialah pengharusan pemakaian Pertamax untuk mobil kelas 2.500 cc ke atas, hal ini takkan memberatkan, karena pemilik mobil ber cc besar tersebut pada umumnya dari kalangan atas. Kebijakan semacam itu sangat dibutuhkan untuk menekan penghematan BBM.

Penghematan BBM atau energi ini telah menekan pemakaian listrik sampai 900 megawatt (MW) pada saat beban puncak pukul 17.00-22.00, khususnya di pusat pengaturan beban listrik Jawa-Bali di Gandul, Jakarta. Secara lebih detil, dari PLN sendiri diperoleh data bahwa penggunaan listrik Jawa-Bali peroide 11-19 Juli 2005 mampu mengurangi beban setara dengan 85 juta kilowatthaour (kWh). Dari jumlah itu berarti PLN telah menghemat BBM sebesar 3-3,5 juta liter atau senilai Rp 23,7 miliar. Jumlah rupiah yang dihemat tersebut cukup signifikan. Secara matematis jika gerakan penghematan dilakukan akan menghemat Rp 78,9 miliar per bulan atau hampir Rp 1 triliun per tahun. Angka itu akan makin besar manakala penghematan sudah merata dan sudah lebih dihayati dan dilaksanakan masyarakat. Pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan pemakaian BBM ini memang sangat diharapkan. Bukan cuma masalah energi yang mahal, tetapi juga masalah ketidakefisienan kita dalam memanfaatkan energi. Perhitungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan bahwa penggunaan energi kita sangat boros. Dibandingkan dengan Jepang, kita lebih boros empat kali lipat, dibandingkan dengan Amerika Utara lebih boros tiga kali lipat. Jika dilihat dari jumlah pemakaian, mungkin mereka lebih besar. Amerika Serikat, misalnya, tiap hari menghabiskan 2,7 juta barel (Indonesia 1,1 juta barel), tetapi dari efisiensi kita boros. Perhitungan efisiensi energi itu berdasarkan pada perbandingan antara jumlah konsumsi terhadap produk domestik bruto (ini dinamakan intensitas) dan pertumbuhan konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi (elastisitas).

*) disampaikan pada Pertamina Youth Program 2005

Economic Hit Man

John Perkins merupakan salah seorang mantan “anggota perusak ekonomi” atau economic hit man. Dalam bukunya yang berjudul Confessions of an Economic Hit Man ia menjelaskan bagaimana seorang professional yang dibayar mahal, ia membantu Amerika guna mencurangi dan menipu negara-negara miskin didunia dengan trilyunan dollar, meminjamkan mereka utang yang melebihi kemampuan mereka untuk membayar, dan kemudian menguasainya.

Buku tersebut ditulis oleh Perkins untuk didedikasikan kepada presiden di dua negara, yakni Jaime Roldos (presiden Ekuador) serta Omar Torrijos (presiden Panama). Keduanya telah terbunuh dalam kecelakaan yang mengerikan. Kecelakaan tersebut merupakan kesengajaan atau pembunuhan dikarenakan kedua presiden tersebut menolak bekerjasama dengan perusahaan, pemerintahan, dan pimpinan perbankan yang mempunyai tujuan menjadi imperium dunia (Amerika).

Economic Hit Man tersebut bertujuan untuk membangun imperium Amerika di dunia dengan merekayasa situasi dimana berbagai sumberdaya (dunia) sebisa mungkin keluar dari negara-negara didunia dan menuju Amerika, menuju berbagai perusahaan dan pemerintahan Amerika. Hal tersebut sudah dimulai sejak Perang Dunia II.

Setidaknya ada 4 (empat) langkah yang dilakukan oleh Economic Hit Man agar suatu negara dapat takluk dan dikuasai oleh Amerika, antara lain :

(1) Memberikan hutang kepada suatu negara yang ingin dikuasai melebihi kemampuan membayar dari negara tersebut. Sehingga Amerika dapat dengan mudah menuntut negara tersebut agar sesuai dengan keinginan Amerika.

(2) Apabila langkah pertama tidak berhasil, maka yang akan dilakukan selanjutnya ialah mengeluarkan “the jackals” (serigala-serigala). The jackals tersebut ialah CIA, dengan mengirimkan orang-orangnya masuk kesuatu negara, kemudian mencoba menggerakkan sebuah kudeta atau revolusi dinegara tersebut.

(3) Apabila langkah ketiga tidak berhasil, maka yang akan dilakukan oleh the jackals tersebut ialah operasi pembunuhan terhadap pemimpin negara, seperti yang terjadi pada presiden Ekuador (Jaime Roldos) dan presiden Panama (Omar Torrijos).

(4) Apabila langkah-langkah tersebut diatas juga tidak berhasil, seperti kasus Irak dimana Saddam Husein memiliki bodyguards yang tangguh dan berlapis-lapis, maka yang akan dilakukan ialah mengirimkan orang-orang (tentara) untuk membunuh dan terbunuh atau perang.

Setidaknya langkah-langkah itulah yang telah diterapkan pada beberapa negara, termasuk Indonesia (kata John Perkins). John Perkins juga menyebutkan keterkaitan Bank Dunia serta IMF dalam setiap operasi yang dilakukan oleh Economic Hit Man ini, begitupun dengan peristiwa 11 September 2001.