Monday, May 17, 2004

Hukum dan Korupsi : Sebuah Realita di Negara Kita

Secara naluri, manusia memiliki keinginan untuk berinteraksi sosial, berusaha berbuat baik. Namun terkadang manusia khilaf sehingga terjerumus dalam kemaksiatan dan berbuat zalim terhadap sesamanya. Banyak orang menempuh berbagai cara atau metode untuk meraih tujuannya, bahkan tidak sedikit yang melanggar aturan yang berlaku seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain sebagainya.

Islam tegas mengharamkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Rasulullah saw dengan tegas mengingatkan “Allah melaknati penyuap dan pelaku suap” (HR Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban). Harus diakui, bahaya praktik ini sangat besar. Hukum dan fakta diputarbalikkan. Yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar.

Budaya KKN telah merambah hampir seluruh lini ; sosial, politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan sektor lainnya. Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, digelari sebagai negeri nomor tiga korup terbesar setelah Nigeria dan Kamerun (The Transparancy International,2000). Hal tersebut merupakan hasil polling terhadap 99 negara dengan menggunakan skala persepsi korupsi (Corruption Perception Index-CPI) mulai dari angka 0(terkorup) sampai angka 10(terbersih). Dalam penelitian tersebut nilai CPI Indonesia 1,7. Sedikit lebih baik daripada Nigeria dan Kamerun. Sementara Denmark menyandang negara terbersih dari korupsi (CPI 10).

Persepsi itu sebenarnya tidak mengherankan. Selama orde baru, kita terbiasa dengan birokrasi yang korup dan kolutif. Ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi lainnya merupakan gejala yang menunjukkan kronisnya korupsi yang terus menggerogoti sistem kekebalan tubuh perekonomian kita. Utang luar negeri tak jarang mengalir ke sektor-sektor tak produktif atau lebih ekstrim lagi merupakan sumber dana bagi pribadi pejabat-pejabat tertentu yang bermental korup.

Bank dunia pada tahun 1999 mensinyalir 20-30% dana pinjaman luar negeri untuk Indonesia terserap kedalam birokrasi yang korup. Malangnya, selama Orde Baru, berutang malah dianggap tanda kesuksesan. Pendistorsian makna itu sayangnya tak mengugah masyarakat terhadap upaya pembodohan kolektif secara sistematis oleh rezim penguasa terhadap rakyat. Rakyat tidak tahu kalau ketika itu harga-harga lebih terjangkau daripada saat ini karena hasil utang luar negeri kepada negara-negara atau lembaga donatur seperti IMF, World Bank, dsb. Dalam kaitan internasional upaya mengundang IMF untuk menyelesaikan krisis ekonomi Indonesia justru menjadi bumerang. IMF telah mendorong kehancuran ekonomi Indonesia ke jurang krisis yang sangat dalam. Namun peran internasional dalam memangkas utang luar negeri sangat besar dalam hal-hal tertentu. Terutama bila isu tersebut menyangkut negara-negara besar, misalnya isu terorisme. Terbukti, Pakistanyang mengambil garis tegas soal terorisme mendapat potongan separuh utang pokoknya. Beberapa waktu yang lalu, Turki mendapat potongan utang sebesar US$ 32 miliar hanya karena memberi pangkalan militer untuk Amerika dalam menghadapi Irak.

Korupsi menimbulkan biaya tinggi yang menyulitkan produsen. Mereka terpaksa menaikkan harga jual produk sehingga menimbulkan inflasi (cost push inflation). Disamping itu para produsen akan memilih sektor produksi yang memberi kemungkinan perolehan laba paling optimal dengan memperhitungkan unsur korupsi.

Selama pemerintahan bersifat kleptokratif (berjiwa maling), institusi hukum tidak akan mampu mengungkap berbagai kasus korupsi, kalau pun terungkap kemungkinan tidak dijatuhi hukuman akan besar. Sebab instrumen hukum telah menjadi subordinat dai kekuasaan. Ciri pemerintahan kleptokrasi memiliki kekuasaan yang terpusat ditangan eksekutif dengan cara membentuk sistem birokrasi yang kuat dan didukung oleh kekuatan militer. Pemimpin menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan lewat kekuatan birokrasi dan militer.

Warisan kleptokrasi terus membebani para pemimpin bangsa ini, mulai dari presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarno Putri. Banyak sekali kasus-kasus besar korupsi yang tidak terselesaikan secara hukum, bahkan belu diutak-atik seperti BLBI, Bank Bali, Texmaco, Penyelewengan dana nonbudgeter Bulog, Jaring Pengaman Sosial (JPS), penggelapan Kredit Usaha Tani (KUT), dll. Temua BPK dan BPKP menyebutkan bahwa penyelewengan keuangan negara selama tahun 2000 dan semester pertama tahun 2001 mencapai lebih dari Rp 10 triliun. Pelaksanaan Otonomi Daerah pun yang diniatkan untuk memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengurus wilayahnya sendiri, telah pula menyebabkan terjadinya desentralisasi korupsi. Jadilah ekskalasi korupsi berkembang begitu dahsyat ke segala pelosok negeri ini. Di daerah, hampir setiap pemilihan kepala daerahdiwarnai politik uang (money politics).

Terjadinya korupsi yang demikian luar biasa mengindikasikan belum terbangunnya good governance (penyelenggaraan pemerintahan yang baik) dan clean government (pemerintahan yang bersih) dalam proses politik dan pemerintahan di negeri ini. Meskipun kita sudah punya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta peraturan pelaksanaannya No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan MPR mengamanatkan kepada presiden -selaku mandataris MPR- untuk memberantas KKN dan kepala pemerintahan selalu menyatakan secara retoris keinginannya untuk memberantas korupsi di negeri ini, tetapi korupsi terus saja terjadi.

Masih hangat dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu Akbar Tandjung –ketua DPR RI dan ketua umum Partai Golkar- yang telah divonis hukuman tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas dakwaan korupsi dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar dibebaskan oleh Mahkamah Agung (kasasi diterima). Ini merupakan bukti bahwa mafia peradilan di negeri kita masih mencengkram lembaga-lembaga Yudikatif. Lembaga yang seharusnya berlaku adil dan bertindak tegas terhadap para koruptor yang telah menggunakan uang rakyat unutk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Sungguh tidak adil, kalau maling ayam sampai dipukuli, pembunuh satu nyawa orang diadili selama lima tahun, bahkan sampai dibakar hidup-hidup. Tetapi maling uang negara sebesar 40 miliar rupiah, yang nilainya sangat jauh lebih besar daripada harga seekor ayam dan membunuh rakyat secara perlahan-lahan, kini bebas berkeliaran. Hukum telah menjadi budak penguasa yang dapat dipermainkan kapan pun jika penguasa menginginkannya, hukum seakan-akan telah menjadi “sahabat” bagi para koruptor, itulah realita saat ini.

Dari gambaran tersebut diatas, betapa kompleks dan kronisnya permasalahan bangsa kita. Lemahnya iman merupakan akar penyebab yang pertama. Gaya hidup hedonis seringkali menyebabkan orang melupakan iman. Gemerlap dunia telah membuat mata hati buta sehingga orang mudah terjerumus kedalam lembah haram. Karena sebetik kesejahteraan, orang jatuh khilaf dalam kekeliruan. Bila iman terpupuk secara baik, hati nurani pasti menolak untuk mengambil harta orang lain dengan cara-cara batil. Bukankah Allah swt telah berfirman “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahuinya(QS Al Baqarah : 189).